SEJARAH MUHAMMADIYAH

Posted by : infoblit January 8, 2025 Tags : Mahasiswa , muhammadiyah , Universitas Muhammadiyah Gresik

Bimo Aryo Wijaya, Nazwa Sabilla Chusna

Program Studi Kewirausahaan

Universitas Muhammadiyah Gresik

Email: bim2wj@gmail.com

 

Abstrak

 Makalah ini bertujuan untuk mengkaji sejarah Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Masalah yang diangkat meliputi perkembangan Muhammadiyah dari pendiriannya pada tahun 1912 hingga pengaruhnya dalam pendidikan dan sosial keagamaan di masyarakat. Penelitian dilakukan melalui studi literatur dan wawancara dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta. Data diperoleh dari buku, artikel, dan dokumen historis yang relevan, kemudian dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami dinamika organisasi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Muhammadiyah telah berperan signifikan dalam modernisasi pendidikan Islam dan penguatan masyarakat sipil, serta berkontribusi dalam upaya menciptakan kesejahteraan sosial dan moral di Indonesia. Kesimpulan ini menggarisbawahi pentingnya Muhammadiyah dalam konteks sejarah dan perkembangan masyarakat Muslim di Indonesia. mengenal lebih dalam pendiri muhammadiyah yaitu Kh. Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis, dan juga bisa memperdalam ilmu pengetahuan tentang muhammadiyah, kami memperoleh data dan analisis data dengan mencari referensi dari berbagai sosial media

 

Pendahuluan

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pada 18 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Latar belakang pendirian Muhammadiyah adalah keprihatinan KH Ahmad Dahlan terhadap kondisi umat Islam saat itu yang dianggap terjebak dalam praktik-praktik keagamaan yang statis dan kurang berkembang. Dalam konteks awal abad ke-20, umat Islam di Indonesia menghadapi tantangan modernisasi di bawah pengaruh kolonialisme Belanda serta pengaruh pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah, terutama Mesir (Latif, 2008). Muhammadiyah lahir sebagai respons terhadap situasi ini, dengan misi untuk memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis (Noer, 1996).

Di masa-masa awal, Muhammadiyah berfokus pada upaya pendidikan dan pelayanan sosial. Organisasi ini mendirikan banyak sekolah, rumah sakit, serta lembaga-lembaga sosial lainnya. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, Muhammadiyah berusaha meningkatkan taraf hidup dan pendidikan masyarakat, dengan tujuan agar umat Islam Indonesia mampu bersaing di tengah arus globalisasi (Ricklefs, 2012). Pendidikan menjadi salah satu fokus utama Muhammadiyah, dengan keyakinan bahwa pendidikan yang baik akan melahirkan generasi Muslim yang cerdas, berakhlak, dan mampu menghadapi tantangan zaman (Alfian, 1989).

Muhammadiyah juga memiliki peran signifikan dalam pengembangan dakwah Islam modern di Indonesia. Dengan pendekatan rasional dan ilmiah, Muhammadiyah berusaha menjawab persoalan-persoalan keagamaan yang dihadapi umat, termasuk persoalan akidah, ibadah, serta isu-isu sosial kemasyarakatan (Azra, 2003). Organisasi ini secara aktif terlibat dalam penyebaran nilai-nilai Islam yang moderat, menolak takhayul, bid’ah, dan khurafat, serta berkomitmen pada penguatan akidah yang berbasis pada Al-Qur’an dan Hadis (Boland, 1971).

Selama perjalanannya, Muhammadiyah tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial, tetapi juga menjadi salah satu kekuatan penting dalam dinamika politik dan sosial di Indonesia. Pada era kemerdekaan, Muhammadiyah ikut serta dalam perjuangan melawan penjajah dan memiliki peran dalam membentuk dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara (Deliar Noer, 1973). Muhammadiyah adalah salah satu ormas yang konsisten dalam menyuarakan pentingnya Pancasila sebagai dasar negara yang mengakomodasi pluralitas bangsa Indonesia (Amir, 2014). Hal ini menjadi bagian dari upaya Muhammadiyah untuk menjaga keutuhan dan keberlanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kini, lebih dari satu abad sejak didirikan, Muhammadiyah terus berkembang dan memainkan peran penting dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Dengan jumlah anggota yang mencapai jutaan dan jaringan lembaga yang tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah tetap menjadi salah satu pilar utama dalam pengembangan Islam yang moderat dan inklusif di Indonesia (Burhani, 2013). Peran dan kontribusinya dalam dunia pendidikan, sosial, dan keagamaan terus diperkuat, sesuai dengan tantangan-tantangan zaman yang semakin kompleks (Federspiel, 2001).

Kiai Haji Ahmad Dahlan (bahasa Arab: أحمد دحلان; 1 Agustus 1868 – 23 Februari 1923, lahir dengan nama Muhammad Darwis) adalah seorang Ulama Besar bergelar Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah putri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu. Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab “ Muhammadiyah” yaitu nama nabi dan rasul Allah yang terakhir, kemudian mendapatkan “ya” dengan bentuk “nisbiyah” yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti “ Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”, yaitu semua orang yang mengakui dan meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan nabi Allah yang terakhir. Sementara menurut istilah [terminology], Muhammadiyah merupakan gerakan islam, dakwah amar makruf nahi munkar, berakidah islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan as- Sunnah

Pembahasan

1.Faktor subyektif (keprihatinan dan keterpanggilan KH. Ahmad Dahlan terhadap umat bangsa)

KH Ahmad Dahlan adalah tokoh yang memiliki keprihatinan mendalam terhadap kondisi umat Islam pada masanya, terutama terkait dengan kemunduran pemahaman dan praktik keagamaan umat yang jauh dari prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Hadis. Keprihatinan ini menjadi salah satu faktor subyektif yang melandasi munculnya Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Sebagai seorang ulama yang terdidik dan berinteraksi dengan berbagai pemikiran Islam modern, baik di dalam negeri maupun dari luar, KH Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi umat dengan mendirikan organisasi yang mampu membawa perubahan yang lebih luas bagi masyarakat.

1.1 Kondisi Umat Islam pada Masa KH Ahmad Dahlan

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, umat Islam di Nusantara berada dalam situasi yang sulit. Kolonialisme Belanda yang berlangsung selama berabad-abad telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk keagamaan. Umat Islam dihadapkan pada tantangan internal berupa praktik keagamaan yang banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur lokal dan budaya, yang dalam pandangan KH Ahmad Dahlan, sering kali tidak sesuai dengan ajaran murni Islam (Noer, 1996). Misalnya, masih banyak dijumpai praktik takhayul, bid’ah, dan khurafat yang berkembang di masyarakat. Selain itu, pendidikan Islam juga mengalami stagnasi, di mana pondok-pondok pesantren cenderung fokus pada pengajaran agama tanpa memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan umum yang relevan dengan kehidupan modern (Alfian, 1989).

KH Ahmad Dahlan sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Ia melihat bahwa keterbelakangan umat Islam dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial merupakan akar dari banyak permasalahan yang dihadapi umat saat itu. Beliau memahami bahwa untuk membawa perubahan, umat harus dibekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Inilah yang mendorong KH Ahmad Dahlan untuk mengintegrasikan pendidikan modern ke dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia melalui pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah (Latif, 2008).

1.2 Keterpanggilan KH Ahmad Dahlan: Misi Pembaharuan

Keprihatinan KH Ahmad Dahlan terhadap umat Islam tidak hanya berhenti pada aspek keagamaan, tetapi juga meluas ke bidang sosial dan nasionalisme. Keterpanggilan beliau untuk memperbaiki kondisi umat dan bangsa menjadi semakin kuat setelah menyadari bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan horizontal antar sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. KH Ahmad Dahlan meyakini bahwa Islam adalah agama yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan umat manusia (Ricklefs, 2012).

Misi pembaharuan yang diemban oleh KH Ahmad Dahlan mencakup dua hal utama: pertama, pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis, serta kedua, modernisasi umat Islam agar mampu bersaing dalam era globalisasi yang semakin maju. Pemikiran ini terbentuk dari hasil perenungan dan interaksi KH Ahmad Dahlan dengan pemikiran Islam reformis dari Timur Tengah, terutama dari tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani (Azra, 2003). KH Ahmad Dahlan melihat bahwa umat Islam di Indonesia perlu belajar dari model reformasi Islam di Mesir yang berhasil menggabungkan antara tradisi keislaman yang kuat dengan penerapan ilmu pengetahuan modern.

1.3 Pendidikan sebagai Alat Perubahan

Hasil dari keprihatinan dan keterpanggilan KH Ahmad Dahlan ini diwujudkan melalui pendirian Muhammadiyah, yang salah satu fokus utamanya adalah pendidikan. Dalam pandangannya, pendidikan merupakan alat paling efektif untuk membentuk karakter umat yang berakhlak, berilmu, dan memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, sejak awal Muhammadiyah berusaha mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum, yang pada saat itu masih dianggap hal yang baru di Indonesia (Boland, 1971). Pendekatan ini memungkinkan para pelajar untuk mendapatkan pendidikan agama yang kuat sambil mempelajari ilmu-ilmu umum yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan juga mengajarkan nilai-nilai sosial dan kemasyarakatan. Beliau menekankan pentingnya kepedulian terhadap sesama, yang tercermin dalam program-program sosial Muhammadiyah seperti pendirian rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai kegiatan kemasyarakatan lainnya. Ini semua merupakan bagian dari konsep “Islam Berkemajuan” yang beliau ajarkan, di mana Islam harus mampu menjadi solusi bagi permasalahan sosial, ekonomi, dan moral yang dihadapi umat (Burhani, 2013).

1.4 Pengaruh Pemikiran KH Ahmad Dahlan dalam Konteks Kebangsaan

Pemikiran KH Ahmad Dahlan juga tidak bisa dilepaskan dari konteks kebangsaan. Di tengah penjajahan Belanda, KH Ahmad Dahlan menyadari pentingnya memperkuat persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai bagian dari upaya melawan penjajahan. Gerakan Muhammadiyah yang beliau dirikan tidak hanya berfokus pada aspek keagamaan, tetapi juga memiliki dimensi kebangsaan. KH Ahmad Dahlan percaya bahwa untuk mencapai kemerdekaan, bangsa Indonesia perlu membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya ilmu pengetahuan, etos kerja, dan solidaritas sosial (Deliar Noer, 1973).

Keterpanggilan KH Ahmad Dahlan terhadap nasib bangsa Indonesia ini kemudian memengaruhi arah perjuangan Muhammadiyah dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan berkeadilan sosial. Pemikiran ini tetap relevan hingga saat ini, di mana Muhammadiyah terus memainkan peran penting dalam pembangunan bangsa melalui berbagai aktivitas pendidikan, sosial, dan keagamaan.

Keprihatinan dan keterpanggilan KH Ahmad Dahlan terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi faktor subyektif yang kuat dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan Islam. Dengan misi memurnikan ajaran Islam dan memodernisasi umat, KH Ahmad Dahlan telah meletakkan dasar bagi perkembangan Islam yang dinamis dan inklusif di Indonesia. Pemikiran beliau, yang mengutamakan pendidikan, kepedulian sosial, serta semangat kebangsaan, terus menjadi inspirasi bagi gerakan Muhammadiyah hingga saat ini.

Deliar Noer. (1973). *The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942*. Oxford University Press.

Faktor Subyektif yang kuat, bahkan dikatakan sebagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA. Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KH. A. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat.

2.Profil KH. Ahmad Dahlan: Pemikiran dan Peran dalam Pembaharuan Islam di Indonesia

Ahmad Dahlan, lahir dengan nama Muhammad Darwis pada tahun 1868 di Yogyakarta, merupakan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Islam modern di Indonesia. Beliau dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang membawa semangat pembaharuan dan modernisasi dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Pemikiran-pemikirannya yang progresif serta keterlibatannya dalam dunia pendidikan, sosial, dan dakwah menjadikannya sosok sentral dalam gerakan reformasi Islam. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan didasarkan pada keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam pada masanya, yang dianggapnya jauh dari ajaran Islam yang murni, serta keterpanggilannya untuk membawa perubahan demi kemajuan umat.

2.1. Latar Belakang Pendidikan dan Pemikiran

Ahmad Dahlan berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, Kiai Haji Abu Bakar, adalah seorang imam besar Masjid Agung Yogyakarta, sehingga lingkungan keluarganya sangat kental dengan nuansa keislaman (Noer, 1996). Pendidikan awal KH. Ahmad Dahlan berpusat pada ajaran Islam tradisional, seperti halnya kebanyakan ulama pada masanya. Namun, dorongan untuk terus belajar membawanya ke Mekah, di mana beliau memperdalam ilmu agama sekaligus terpapar dengan pemikiran-pemikiran reformis dari Timur Tengah. Selama di Mekah, KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan berbagai tokoh reformis, seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, yang menekankan pentingnya pembaharuan Islam melalui pendekatan rasional dan modern (Azra, 2003). Pengalaman ini memengaruhi pemikirannya tentang pentingnya mengembalikan ajaran Islam kepada Al-Qur’an dan Hadis, sekaligus membuka diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan modern.

Sepulangnya dari Mekah, KH. Ahmad Dahlan mulai melihat bahwa praktik keagamaan umat Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur lokal yang tidak selalu sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Banyaknya ritual-ritual keagamaan yang dianggapnya berbau takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC) mendorong KH. Ahmad Dahlan untuk memulai gerakan reformasi yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam di kalangan umat (Ricklefs, 2012).

2.2 Pendirian Muhammadiyah dan Visi Pembaharuannya

Pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta sebagai wadah untuk mewujudkan visinya tentang pembaharuan Islam. Muhammadiyah berdiri dengan tujuan utama memurnikan ajaran Islam dan memajukan umat melalui pendidikan dan pelayanan sosial. Salah satu moto Muhammadiyah, *”Islam Berkemajuan”*, mencerminkan komitmen KH. Ahmad Dahlan terhadap modernisasi umat Islam, baik dalam pemahaman keagamaan maupun dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin berkembang (Alfian, 1989)

Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah memulai gerakan untuk mengintegrasikan ajaran Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Langkah ini merupakan terobosan penting pada masanya, karena pendidikan Islam tradisional saat itu cenderung fokus pada ilmu agama tanpa memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang terjadi di dunia Barat (Boland, 1971). Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan agar tidak tertinggal oleh bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju

Pemikiran ini tercermin dalam pendirian sekolah-sekolah Muhammadiyah, di mana beliau mengadopsi sistem pendidikan modern yang menggabungkan kurikulum agama dan umum. Sekolah-sekolah ini tidak hanya mendidik generasi muda dalam hal agama, tetapi juga mempersiapkan mereka untuk menghadapi dunia modern dengan bekal ilmu pengetahuan yang relevan (Latif, 2008). KH. Ahmad Dahlan percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan dan keterbelakangan.

2.3 Pemurnian Ajaran Islam dan Penolakan terhadap TBC (Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat)

Salah satu aspek penting dalam pemikiran KH. Ahmad Dahlan adalah pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dalam pandangannya, umat Islam pada masa itu banyak melakukan praktik keagamaan yang telah tercampur dengan adat-istiadat lokal, yang tidak jarang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Beliau menolak keras praktik-praktik yang dianggapnya sebagai takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC), yang menurutnya hanya akan menjauhkan umat dari ajaran Islam yang murni (Noer, 1996).

Ahmad Dahlan menekankan pentingnya kembali kepada sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, dalam menjalankan kehidupan beragama. Beliau mengajak umat Islam untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara rasional dan terbuka, tanpa terikat oleh tradisi-tradisi lokal yang tidak memiliki dasar dalam ajaran agama. Melalui gerakan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan berupaya memberantas TBC ini dengan memberikan pemahaman yang benar tentang ajaran Islam kepada masyarakat luas (Azra, 2003).

2.4 Dakwah dan Keterlibatan Sosial

Selain pendidikan, KH. Ahmad Dahlan juga sangat aktif dalam bidang dakwah dan pelayanan sosial. Dakwah Muhammadiyah di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas pada ceramah keagamaan, tetapi juga melibatkan aksi nyata dalam membantu masyarakat yang membutuhkan. Beliau mendirikan berbagai lembaga sosial seperti rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Menurut KH. Ahmad Dahlan, Islam adalah agama yang peduli pada kemanusiaan, dan salah satu cara terbaik untuk menunjukkan iman adalah dengan membantu sesama (Burhani, 2013).

Pemikiran ini memperlihatkan bahwa KH. Ahmad Dahlan memahami Islam sebagai agama yang tidak hanya berfokus pada hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada hubungan horizontal dengan sesama manusia. Dakwah yang beliau lakukan selalu menekankan pentingnya amal perbuatan yang nyata sebagai wujud dari pengabdian kepada Tuhan dan kepedulian kepada sesama (Latif, 2008). Pendekatan ini menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak hanya berperan dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang sosial dan kemanusiaan.

2.5 Pengaruh dan Warisan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Pemikiran dan gerakan KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah memiliki dampak yang sangat besar terhadap perkembangan Islam di Indonesia. Muhammadiyah telah melahirkan generasi Muslim yang tidak hanya taat beragama, tetapi juga terdidik dan mampu menghadapi tantangan zaman. Melalui sistem pendidikan modern yang beliau kembangkan, Muhammadiyah berhasil mencetak banyak pemimpin dan cendekiawan Muslim yang berperan penting dalam pembangunan bangsa (Noer, 1996).

Warisan pemikiran KH. Ahmad Dahlan terus hidup dalam Muhammadiyah hingga saat ini. Nilai-nilai reformasi yang beliau ajarkan, seperti pemurnian ajaran Islam, pentingnya pendidikan, dan keterlibatan sosial, tetap menjadi fondasi utama gerakan Muhammadiyah. Muhammadiyah telah berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan jutaan anggota dan jaringan lembaga pendidikan serta sosial yang tersebar di seluruh penjuru negeri (Boland, 1971). Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Islam yang rasional, progresif, dan peduli terhadap masyarakat tetap relevan dalam menghadapi tantangan-tantangan modern di Indonesia dan dunia Islam.

Ahmad Dahlan adalah sosok pembaharu Islam yang pemikirannya berfokus pada pemurnian ajaran Islam dan modernisasi umat. Melalui pendirian Muhammadiyah, beliau membawa perubahan besar dalam bidang pendidikan, sosial, dan keagamaan di Indonesia. Pemikirannya tentang pentingnya ilmu pengetahuan, dakwah yang nyata, dan pemberantasan TBC menjadi landasan kuat bagi gerakan Muhammadiyah, yang hingga saat ini terus berkembang dan memberikan kontribusi signifikan bagi umat Islam di Indonesia.

3.Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Islam dan Umatnya

Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki visi progresif terhadap Islam dan umatnya, yang terbukti melalui pemikiran-pemikirannya tentang pembaharuan agama, pendidikan, dan peran umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Gagasan-gagasan beliau tidak hanya berfokus pada aspek spiritual, tetapi juga mencakup dimensi sosial dan intelektual umat. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan ini lahir dari refleksinya terhadap kondisi umat Islam di Indonesia pada awal abad ke-20, yang menurutnya berada dalam kemunduran, baik dari segi pemahaman agama maupun dalam bidang sosial dan ekonomi. Melalui Muhammadiyah, organisasi yang didirikannya pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan berusaha mereformasi berbagai aspek kehidupan umat, dengan penekanan pada pemurnian ajaran Islam, pendidikan, dan keterlibatan sosial.

3.1 Pemurnian Ajaran Islam: Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis

Salah satu inti dari pemikiran KH. Ahmad Dahlan adalah pentingnya kembali kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis, serta menjauhkan umat dari praktik-praktik yang tidak memiliki landasan kuat dalam kedua sumber tersebut. Dalam pandangannya, pada masa itu banyak umat Islam di Indonesia yang terjebak dalam praktik keagamaan yang dipenuhi dengan unsur-unsur lokal, seperti takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). KH. Ahmad Dahlan menilai bahwa praktik-praktik semacam itu telah menjauhkan umat dari esensi ajaran Islam yang sebenarnya (Noer, 1996).

Melalui Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan mengajak umat Islam untuk kembali memahami ajaran agama secara rasional dan sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Pemikiran ini juga didasarkan pada prinsip tauhid, yaitu pengakuan akan keesaan Allah dan pentingnya menjaga kemurnian ajaran agama. Dengan demikian, beliau berusaha memberantas segala bentuk penyimpangan yang terjadi di masyarakat, baik dalam bentuk ritual keagamaan yang tidak sesuai dengan syariat maupun dalam pemahaman tentang hukum-hukum Islam (Ricklefs, 2012).

3.2 Islam sebagai Agama yang Rasional dan Progresif

Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai tokoh yang memandang Islam sebagai agama yang rasional dan progresif. Baginya, Islam adalah agama yang sesuai dengan akal sehat dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk memperkuat iman dan menjalankan ajaran agama dengan lebih baik. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, Islam tidak boleh dipahami sebagai agama yang statis dan tertutup terhadap perubahan, tetapi sebagai agama yang dinamis dan mampu menjawab tantangan-tantangan baru dalam kehidupan manusia (Azra, 2003).

Pemikiran ini membentuk dasar bagi sikap KH. Ahmad Dahlan terhadap modernisasi. Beliau tidak melihat modernisasi sebagai ancaman terhadap agama, tetapi sebagai peluang bagi umat Islam untuk berkembang dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, KH. Ahmad Dahlan mendorong umat Islam untuk tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan modern yang dibutuhkan untuk membangun peradaban. Gagasan ini terwujud dalam program pendidikan Muhammadiyah, yang sejak awal mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum dalam kurikulumnya (Latif, 2008).

33 Pendidikan sebagai Kunci Pembaharuan Umat

Salah satu kontribusi terbesar KH. Ahmad Dahlan adalah dalam bidang pendidikan. Beliau meyakini bahwa pendidikan adalah kunci untuk membawa umat Islam keluar dari kebodohan dan keterbelakangan. Menurut KH. Ahmad Dahlan, umat Islam tidak akan mampu bersaing dan berkontribusi dalam kemajuan peradaban jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu agama maupun ilmu umum (Alfian, 1989).

Oleh karena itu, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan tidak hanya pelajaran agama, tetapi juga pelajaran umum seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, dan bahasa asing. Langkah ini merupakan inovasi besar pada masanya, karena pendidikan Islam tradisional di Indonesia pada saat itu umumnya hanya berfokus pada pengajaran ilmu-ilmu agama. Dengan mendirikan sekolah-sekolah yang menggunakan metode pendidikan modern, KH. Ahmad Dahlan berharap dapat mencetak generasi Muslim yang tidak hanya taat dalam beribadah, tetapi juga cerdas dan mampu berperan dalam pembangunan masyarakat dan bangsa (Boland, 1971).

3.4 Islam sebagai Agama Sosial: Kepedulian terhadap Sesama

Selain berfokus pada aspek spiritual dan pendidikan, KH. Ahmad Dahlan juga menekankan pentingnya peran sosial Islam. Dalam pandangannya, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antar sesama manusia. Oleh karena itu, beliau mendorong umat Islam untuk aktif dalam kegiatan sosial dan berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemikiran ini tercermin dalam berbagai program sosial yang dilakukan oleh Muhammadiyah, seperti pendirian rumah sakit, panti asuhan, dan lembaga-lembaga sosial lainnya. KH. Ahmad Dahlan melihat bahwa dakwah Islam tidak hanya dilakukan melalui ceramah dan pengajaran agama, tetapi juga melalui tindakan nyata dalam membantu masyarakat yang membutuhkan. Islam, dalam pandangannya, adalah agama yang harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia, dan oleh karena itu, umat Islam harus terlibat aktif dalam memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi masyarakat (Burhani, 2013).

 

3.5 Pembentukan Identitas Muslim yang Modern dan Berdaya Saing

Ahmad Dahlan juga memiliki visi tentang identitas Muslim yang modern, di mana umat Islam harus mampu menyeimbangkan antara kehidupan spiritual dan kebutuhan duniawi. Beliau menolak pandangan yang memisahkan antara agama dan kehidupan dunia, dan sebaliknya, meyakini bahwa Islam harus menjadi pedoman dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, dan politik. Umat Islam harus memiliki etos kerja yang tinggi, sikap mandiri, dan daya saing yang kuat agar dapat berkontribusi secara signifikan dalam kemajuan bangsa dan negara.

Melalui pemikirannya ini, KH. Ahmad Dahlan berusaha membentuk umat Islam yang tidak hanya berfokus pada ritual keagamaan, tetapi juga memiliki kesadaran sosial dan nasionalisme. Dalam konteks penjajahan Belanda, KH. Ahmad Dahlan mengajak umat Islam untuk menyadari pentingnya persatuan dan kemandirian dalam melawan penjajahan. Meskipun Muhammadiyah bukan organisasi politik, pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang kebangsaan dan kemandirian umat turut memberikan kontribusi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia (Noer, 1996).

3.6 Islam sebagai Agama Universal dan Toleran

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Islam juga menekankan bahwa Islam adalah agama yang universal dan toleran. Beliau percaya bahwa Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya bagi umat Muslim saja. Oleh karena itu, beliau menekankan pentingnya toleransi dan kerjasama antar umat beragama. Dalam pandangannya, perbedaan agama bukanlah penghalang untuk bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial (Boland, 1971).

Pemikiran ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang plural, di mana umat Islam hidup berdampingan dengan pemeluk agama-agama lain. KH. Ahmad Dahlan selalu mengajak umat Islam untuk menghormati perbedaan dan bekerja sama dalam upaya membangun bangsa yang adil dan sejahtera. Sikap inklusif dan toleran ini menjadi salah satu ciri khas Muhammadiyah yang hingga kini tetap dipertahankan.

Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Islam dan umatnya adalah pemikiran yang progresif, rasional, dan berorientasi pada kemajuan. Beliau menekankan pentingnya pemurnian ajaran Islam, pendidikan, kepedulian sosial, serta keterlibatan umat dalam pembangunan bangsa. KH. Ahmad Dahlan memandang Islam sebagai agama yang dinamis dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman, serta mendorong umat Islam untuk terus belajar, bekerja keras, dan berkontribusi bagi masyarakat luas. Melalui Muhammadiyah, pemikiran-pemikiran beliau terus berkembang dan memberikan dampak besar bagi umat Islam di Indonesia hingga saat ini.

 

Penutup

Kajian mengenai pemikiran KH. Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa beliau adalah seorang tokoh pembaharu Islam yang berperan penting dalam merumuskan konsep Islam yang progresif dan modern di Indonesia. Melalui gerakan Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan memperkenalkan gagasan pemurnian ajaran Islam yang kembali berfokus pada Al-Qur’an dan Hadis, sekaligus membuka diri terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan modernisasi.

Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam bidang pendidikan. Beliau mendirikan sekolah-sekolah yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum sebagai upaya mencetak generasi Muslim yang berilmu dan berdaya saing. KH. Ahmad Dahlan juga menekankan pentingnya peran sosial Islam, di mana umat Islam tidak hanya harus beribadah secara ritual, tetapi juga berkontribusi dalam kesejahteraan sosial masyarakat melalui berbagai kegiatan amal dan pelayanan sosial.

Pemikiran beliau yang rasional dan toleran memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis, mampu menjawab tantangan zaman, dan menjunjung tinggi persatuan serta kerja sama antar umat beragama. Dengan penekanan pada pendidikan, pembaruan agama, dan kepedulian sosial, KH. Ahmad Dahlan berhasil membawa umat Islam Indonesia keluar dari stagnasi dan mendorong mereka untuk menjadi umat yang berdaya, mandiri, dan berperan dalam pembangunan bangsa.

Ringkasnya, kajian ini menegaskan bahwa pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Islam yang berkemajuan, pendidikan, serta amal sosial masih relevan dan memberikan pengaruh besar hingga kini, baik dalam konteks perkembangan umat Islam di Indonesia maupun dalam upaya mengatasi tantangan global modern.

Rujukan

  1. Abdullah, Taufik. (2013). *Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia*. LP3ES.
  2. Alfian. (1989). *Muhammadiyah: The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism*. Gadjah Mada University Press.
  3. Amir, Abdul. (2014). *Peran Muhammadiyah dalam Pembentukan NKRI*. Yayasan Wakaf Paramadina.
  4. Azra, Azyumardi. (2003). *The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia*. Allen & Unwin.
  5. Boland, B.J. (1971). *The Struggle of Islam in Modern Indonesia*. Martinus Nijhoff.
  6. Burhani, Ahmad Najib. (2013). “The Reformism of Muhammadiyah and the Radicalization of Indonesian Islam”. *Southeast Asian Studies*, 2(2), 187-213.
  7. Deliar Noer. (1973). *The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942*. Oxford University Press.
  8. Federspiel, Howard M. (2001). *Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam (PERSIS), 1923-1957*. Brill.
  9. Latif, Yudi. (2008). *Indonesian Muslim Intelligentsia and Power*. ISEAS Publishing.
  10. Ricklefs, M.C. (2012). *Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History*. NUS Press.
RELATED POSTS
FOLLOW US